Penilaian Prestasi Kerja Karyawan

Setelah penarikan atau pemilihan karyawan, kinerja karyawan dari periode ke periode di nilai oleh perusahaan untuk menentukan karyawan tersebut mendapatan nilai baik dalam bekerja atau tidak. Penilaian prestasi kerja (performance apprasial) adalah proses melalui mana organisasi – organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan – keputusan personalia dan memperbaiki umpan balik kepada para karyawan tentang pelaksanaan kerja karyawan. Kegunaan – kegunaan penilaian prestasi kerja digunakan untuk :

1. Perbaikan Prestasi Kerja

Umpan balik pelaksaanaan kerja memungkinkan karyawan, manejer dan departemen personalia dapat membetulkan

kegiatan – kegiatan mereka untuk memperbaiki prestasi.

2. Penyesuaian – penyesuaian Kompensasi

Evaluasi prestasi kerja mebantu para pengambil keputusan dalam menentukan kenaikan upah, pemberian bonus, dan

bentuk kopensasi lainnya

3. Keputusan -keputusan penempatan

Promosi, transfer dan demosi biasanya dilaksanakan pada prestasi kerja masa lalu atau antiisipasi. Promosi sering

merupakan bentuk penghargaan terhadap prestasi kerja masa lalu.

4. Kebutuhan Latihan dan Pengembangan

Prestasi kerja yang jelek memungkinkan menunjukan kebutuhan latihan. Demikian juga, prestasi yang baik munkin

mencerminkan potensi yang harus dikembangkan.

5.  Perencanaan dan Penngembangaan Karier

Umpan balik prestasi mengarahkan keputusan – keputusan karier, yaitu tentang jalur karier tertentu  yang haruus

diteliti.

6.  Penyimpangan – Penyimpangan Proses Staffing

Prestasi yang baik atau jelek mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur satffing departemen personalia

7.  Ketidak akuratan Informasi

Prestasi yang jelek mungkin menunjukan kesalahan – kesalahan dalam informasi analisa jabatan, rencana – rencana

sumberdaya manusia atau kompenen – komponen lain sistem informasi manajemen personalia. Menggantungkan diri

kepada informasi yang tidak akurat dapat menyebabkan keputusan – keputusan personalia yang diambil tidak tepat. Continue reading

WAJAH KOPERASI TANI DAN NELAYAN DI INDONESIA SEBUAH TINJAUAN KRITIS

Latar Belakang

 

Meskipun koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dahulu sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Sehingga terlahir koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain. Dua jenis koperasi yang tumbuh dari bawah dan jumlahnya terbatas ketika itu adalah koperasi peternakan sapi perah dan koperasi tebu rakyat. Kedua-duanya mempunyai ciri yang sama yaitu menghadapi pembeli tunggal pabrik gula dan konsumen kota.

Pada sub sektor pertanian tanaman pangan yang pernah diberi nama “pertanian rakyat” praktis menjadi instrumen untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk mencapai swasembada  beras. Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru dengan mengaitkan dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat ketat dengan Departemen Pertanian seperti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian terutama pupuk, membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian dan “pengerakannya” kepada koperasi selalu apabila gagal dilaksanakan sendiri atau langsung oleh pemerintah, contoh padi sentra, kredit BIMAS hingga distribusi pupuk.

KUD sebagai koperasi berbasis wilayah jumlahnya hanya 8620 unit dan pendiriannya memang tidak terlalu luas. Hingga menjelang dicabutnya Inpres 4/1984 KUD hanya mewakili 25% dari jumlah koperasi yang ada ketika itu, namun dalam hal bisnis mereka mewakili sekitar 43% dari seluruh volume bisnis koperasi di Indonesia. KUD meskipun bukan koperasi pertanian namun secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi berbasis pertanian juga sangat menonjol. Diantara koperasi yang ada di Indonesia yang jumlahnya pada saat ini lebih dari 103 ribu unit, KUD termasuk yang mempunyai jumlah KUD aktif tertinggi yaitu 92% atau sebanyak 7931 unit KUD pada saat ini tidak berbeda dengan koperasi lainnya dan tidak memperoleh privilege khusus, tidak terikat dengan wajib ikut program sektoral, sehingga pada dasarnya sudah menjadi koperasi otonomi yang memiliki rata-rata anggota terbesar.

Koperasi pertanian yang digerakan melalui pengembangan kelompok tani setelah keluarnya Inpres 18/1998 mempunyai jumlah yang besar, namun praktis belum memiliki basis bisnis yang kuat dan mungkin sebagian sudah mulai tidak aktif lagi. Usaha mengembangkan koperasi baru di kalangan tani dan nelayan selalu berakhir kurang menggembirakan. Mereka yang berhasil jumlah terbatas dan belum dapat dikategorikan sebagai koperasi pertanian sebagai mana lazimnya koperasi pertanian di dunia atau bahkan oleh KUD-khusus pertanian yang ada.

 

Posisi Pertanian  Kini dan Ke Depan

Posisi sektor pertanian sampai saat ini tetap merupakan penyedia lapangan kerja terbesar dengan sumbangan terhadap pembentukan produksi nasional yang kurang dari 19%. Jika dimasukkan keseluruhan kegiatan off form yang terkait dan sering dinyatakan sebagai sektor agribisnis juga hanya mencakup 47%, sehingga dominasi pembentukan nilai tambah juga sudah berkurang dibandingkan dengan sektor-sektor di luar pertanian. Isue peran pertanian sebagai penyedia pangan, bentuk ketahanan pangan juga menurun derajat kepentingan nya.

Ditinjau dari unit usaha pertanian terdapat 23,76 juta unit atau 59% dari keseluruhan unit usaha yang ada. Disektor pertanian hanya terdapat 23,76 juta usaha kecil dengan omset dibawah 1 miliar/tahun dimana sebagian terbesar dari usaha tersebut adalah usaha mikro dengan omset dibawah Rp. 50 juta/thn. Secara kasar dapat diperhitungkan bahwa hanya sekitar 670 ribu unit usaha kecil di sektor pertanian yang bukan usaha mikro, oleh karena itu daya dukungnya sangat lemah dalam memberikan kesejahteraan bagi para pekerja. Sementara itu penguasaan tanah berdasarkan sensus pertanian 1993 sekitar 43% tanah pertanian berada di tangan 13% rumah tangga dengan pemilikan diatas 1 hektar saja. Sehingga petani besar sebenarnya potensial dilihat sebagai modal untuk menjadi lokomotif pembangunan pertanian. Continue reading

DEMOKRASI EKONOMI DAN DEMOKRASI INDUSTRIAL

Akhir-akhir ini semakin luas dibahas sistem Ekonomi Syariah yang dianggap lebih adil dibanding sistem ekonomi yang berlaku sekarang khususnya sejak 1966 (Orde Baru) yang berciri kapitalistik dan bersifat makin liberal, yang setelah kebablasan kemudian meledak dalam bentuk bom waktu berupa krismon tahun 1997. Krismon yang menghancurkan sektor perbankan modern kini tidak saja telah menciutkan jumlah bank menjadi kurang dari separo, dari 240 menjadi kurang dari 100 buah, tetapi juga sangat mengurangi peran bank dalam perekonomian nasional.

Dalam pada itu Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5) jelas berorientasi pada etika (Ketuhanan Yang Maha Esa), dan kemanusiaan, dengan cara-cara nasionalistik dan kerakyatan (demokrasi). Secara utuh Pancasila berarti gotong-royong, sehingga sistem ekonominya bersifat kooperatif/ kekeluargaan/ tolong-menolong.

Jika suatu masyarakat/negara/bangsa, warganya merasa sistem ekonominya berkembang ke arah yang timpang dan tidak adil, maka aturan mainnya harus dikoreksi agar menjadi lebih adil sehingga mampu membawa perekonomian ke arah keadilan ekonomi dan sekaligus keadilan sosial.

Profit-Sharing dan Employee Participation. prinsip profit-sharing atau bagi-bagi keuntungan dan resiko yang jelas merupakan ajaran sistem Ekonomi syariah dan sistem ekonomi pancasila sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah negara maju (welfare statte) yang merasa bahwa penerapan prinsip profit sharing dan employee participation lebih menjamin ketentraman dan ketenangan usaha serta untuk menjamin keberlanjutan suatu usaha

Economic democracy is typically used to denote a variety of forms of employee participation in the ownership of enterprises and in the distribution of economic rewards;

Industrial democracy refers to the notion of worker participation in decision-making and employee involvement in the processes of control within the firm. (Poole 1989: 2)

Meskipun pengertian economic democracy jelas lebih luas dari industrial democracy namun keduanya bisa diterapkan sebagai asas atau “style” manajemen satu perusahaan yang jika dilaksanakan dengan disiplin tinggi akan menghasilkan kepuasan semua pihak (stakeholders) yang terlibat dalam perusahaan. Itulah demokrasi industrial yang tidak lagi menganggap modal dan pemilik modal sebagai yang paling penting dalam perusahaan, tetapi dianggap sederajat kedudukannya dengan buruh/tenaga kerja, yang berarti memberikan koreksi atau reformasi pada kekurangan sistem kapitalisme lebih-lebih yang bersifat neoliberal.

Prinsip employee participation yaitu partisipasi buruh/karyawan dalam pengambilan keputusan perusahaan sangat erat kaitannya dengan asas profit-sharing. Adanya partisipasi buruh/karyawan dalam decision-making perusahaan berarti buruh/karyawan ikut bertanggung jawab atas diraihnya keuntungan atau terjadinya kerugian.

Banyak perusahaan di negara kapitalis yang menganut bentuk negara kesejahteraan (welfare state) telah menerapkan prinsip profit-sharing dan employee participation ini, dan yang paling jelas diantaranya adalah bangun perusahaan koperasi, baik koperasi produksi maupun koperasi konsumsi, terutama di negara-negara Skandinavia.

Mengapa profit-sharing dan share-ownership?

Berdasarkan penelitian 303 perusahaan di Inggris, alasan perusahaan mengadakan aturan pembagian laba dan pemilik saaham oleh buruh/ karyawan ada 5 yaitu(poople : 70-71) :

1.       Komitmen moral (moral commitment);

2.       Penahanan staf (staff retention);

3.       Keterlibatan buruh/karyawan (employee involvement);

4.       Perbaikan kinerja hubungan industrial (improved industrial relations performance);

5.       Perlindungan dari pengambilalihan oleh perusahaan lain (protection against takeover).

Continue reading